Sunar Sanggita adalah jasa privat musik modern dan tradisional yang memberdayakan pemuda tunanetra untuk jadi pengajar. Wirausaha sosial yang berbasis di Bali ini menarget warga berpenghasilan rendah yang ingin belajar musik.
Konsep inklusif Sunar Sanggita mengantarkan wirausaha sosial ini meraih penghargaan Inclusive Innovation Award di Youth Co:Lab National Bootcamp 2023 dari United Nations Development Programme (UNDP) dan Citi Foundation di Jakarta, Selasa (31/10/2023). Layanannya dinilai mendorong akses kesempatan yang sama bagi kelompok marginal dan tidak terwakili, serta diversitas audiens sasaran.
“Sunar Sanggita ini menjembatani teman-teman tunanetra yang punya bakat musik untuk dibuatkan beberapa produk, seperti misalnya mengajar privat musik sampai mengisi acara. Jadi mereka bisa isi acara secara profesional. Kita manage mereka, dan sumber daya latihannya,” tutur I Made Prasetya Wiguna Mahayasa, founder Sunar Sanggita yang juga pemuda tuna ganda tunanetra sekaligus reduksi pendengaran pada detikEdu di Jakarta, Selasa (31/10/2023).
Wiguna menuturkan, tim Sunar Sanggita juga bisa membuatkan lagu sesuai keinginan pelanggan.
“Kami juga sudah punya studio sendiri saat ini, untuk rekaman lagu dan bagi yang ingin bikin lagu untuk mengabadikan momennya mereka. Kan banyak momen itu dari foto ya. Nah kita pingin buka market bahwa orang-orang yang kepingin mengabadikan momen juga bisa lewat lagu,” imbuhnya.
Inisiatif Platform Usaha Musik Tunanetra

Wiguna bercerita, ia semula bersekolah di sekolah umum dengan kurikulum noninklusif. Ia yang tidak dapat melihat mengalami tugas-tugas seperti menggambar, yang sulit ia lakukan sebagai seorang tunanetra.
Masuk SLB, Wiguna menyadari ada beragam hal baru yang dapat dipelajari, khususnya musik. Ia mengaku beruntung difasilitasi orang tua untuk dibelikan alat musik dan diikutkan kursus musik yang memupuk kecintaannya di bidang seni ini. Belajar piano, drum, gitar, hingga bass, ia pun mulai menjajal festival dan kejuaraan musik.
Namun saat kuliah di Prodi Pendidikan Luar Biasa, Universitas Negeri Malang (UM), ia menyadari dirinya mengalami penurunan pendengaran. Sedih karena tak lagi bisa mengandalkan pendengarannya sebagai tunanetra, ia juga merasa down karena tak lagi boleh melanjutkan hobi nge-band dan bermusik yang kerap kali bervolume keras.
Interaksi dengan orang lain juga menjadi lebih sulit bagi Wiguna, karena isyarat sentuh bagi orang tuna ganda belum selazim perkembangan bahasa isyarat biasa di tengah masyarakat. Namun seiring waktu, ia mulai melatih kemampuan bisnisnya saat lanjut kuliah S2 Manajemen di Telkom University.
“Dari situlah saya nyari ide-ide bisnis lain, kaya misalnya mengajar. Saya punya perusahaan PT Mahayasa Teknologi Nusantara, yang mempekerjakan teman-teman disabilitas sebagai content writer dan HR. Dari perusahaan itu juga saya akhirnya mendanai Sunar Sanggita sendiri,” tuturnya.
Ide Usaha Musik Tunanetra di Tengah Pandemi

Wiguna bercerita, banyak teman-teman tunanetranya yang punya bakat musik luar biasa dari belajar otodidak. Saat pandemi datang, temannya yang biasa mengisi musik di acara restoran dan kafe praktis kehilangan pekerjaan karena tempat makan itu tutup.
Di sisi lain, ia mendapati teman-temannya belum akrab dengan digital marketing bakat di media sosial. Alhasil, ia terpikir untuk membuka jasa mengajar musik bagi anak-anak nondisabilitas dan memasarkannya di Instagram hingga Facebook. Harapannya, ada penghasilan tambahan bagi teman-temannya lewat musik.
“Ternyata cukup sukses, cukup banyak yang berminat gitu buat belajar meskipun kita yang ngajar. Setelah itu akhirnya saya putuskan untuk membuat Sunar Sanggita,” ucap Wiguna.
Mengajar Pengajar

Wiguna menuturkan, pengajar les musik Sunar Sanggita pada dasarnya dipilih berdasarkan kriteria kecakapannya bermusik, yang salah satunya dibuktikan lewat jam terbang bermain musik di berbagai acara.
Agar memungkinkan pengajar tunanetra tidak harus keluar rumah dan keluar ongkos besar untuk naik ojol ke studio dan ke rumah siswa, Wiguna juga berharap pengajar bersangkutan sudah punya alat musik untuk mengajar les di rumah. Ruang rumah pun diharapkan cukup nyaman untuk ruang belajar siswa.
Ia menambahkan, kandidat pengajar yang sudah pernah kursus formal juga diutamakan karena jago teknik bermusik. “Tetapi kita tetap menyediakan training dulu,” tuturnya.
Untuk mengajar musik pada siswa nondisabilitas, para pengajar musik di Sunar Sanggita sebelumnya menjalani pendampingan dan pembelajaran tersendiri sebelum bertemu murid-murid yang kebanyakan adalah anak-anak.
“Saat mereka coba mengajar, terkadang visualnya tidak sesuai dengan yang diinginkan murid. Jadi mereka diajarkan bisa mengajar musik seperti halnya guru nontunanetra. Misalnya harus pegang seperti apa, cara berinteraksi dengan nondisabilitas seperti apa,” tuturnya.
“Sebab kadang ada teman-teman tunanetra yang punya karakteristik suka neken mata, suka nunduk pas bicara dengan lawan bicara, jadi kita ajari hal-hal yang masih bisa diubah, agar market percaya bahwa mereka bisa memberikan pengajaran yang bagus,” imbuhnya.

Wiguna bercerita, terkadang ada orang tua murid yang ragu sang pengajar dapat memberikan les musik bagi anaknya. Dari situ, ia kian berupaya memastikan sang siswa bisa memiliki peningkatan hasil belajar hingga bisa bermain musik.
“Jangan sampai orang tua itu ajak anaknya belajar di Sunar Sanggita karena kasihan gurunya disabilitas. Biar berkelanjutan, biar ada hasilnya yang diajarkan mereka, bahwa anaknya mengalami peningkatan dari yang misalnya tidak bisa main musik, sekarang bisa main,” tuturnya.
“Jadi memang harus mulai dari bagaimana mereka bisa memberikan kualitas pendidikan yang mirip dengan guru nondisabilitas,” imbuhnya.
Wiguna berharap, jika muncul jasa serupa dari rekan tunanetra, ia berharap masyarakat mau mencoba jasanya dulu tanpa mengasihani. Jika ada yang tidak puas dalam pengajaran, ia berharap murid maupun orang tua murid tidak sungkan menyampaikannya agar kualitas jasa les musik oleh pengajar disabilitas kian ciamik.
“Meskipun kita disabilitas, tetapi kita semua sama-sama diberikan kelebihan dan kekurangan oleh Tuhan. Yang penting selalu mengingatkan saja bagaimana kurangnya, apa yang masih bisa diubah, sehingga nantinya lebih banyak lagi orang yang puas dengan pelayanan kami,” harapnya.
Hambatan Ongkos Transportasi yang Mahal
Saat ini, Wiguna menuturkan, Sunar Sanggita menjajaki peluang melibatkan tunadaksa lumpuh setengah badan sebagai kandidat pengajar. Ia bercerita, kandidat satu ini punya kemampuan di bidang aransemen lagu.
“Tetapi karena jaraknya jauh dan belum punya pekerjaan tetap, kita berkoordinasi lewat online dulu,” tuturnya.
Wiguna menuturkan, soal ongkos kerap jadi masalah tambahan bagi aksesibilitas dan urusan kantong pengajar tunanetra. Karena tidak bisa menghemat pengeluaran dengan berkendara sendiri, tunanetra harus keluar ongkos sekitar Rp 50 ribu – Rp 60 ribu untuk pulang-pergi dari rumah siswa atau studio. Sedangkan penghasilannya dari mengajar sebesar Rp 75 ribu per jam.
“Di Bali khususnya sangat sulit mendapatkan peluang ekonomi yang cukup karena transportasi ini,” tuturnya.
Di Sunar Sanggita sendiri, Wiguna coba menerapkan transparansi biaya ongkos bagi calon siswa les privat di rumah. Ia mengakui tak banyak orang tua yang kemudian jadi meneruskan kontrak les untuk anaknya. Namun, terkadang ada yang menyanggupinya.
Kendala ongkos, sambungnya, juga kerap membuat rekan tunanetra pekerja pijit berkecil hati karena semula sudah berniat berwirausaha. Begitu pula guru, pekerja kantoran, dan profesional lainnya yang berpenghasilan relatif rendah.
“Kami berharap pemerintah dan lainnya bisa memfasilitasi kaya di Jakarta, yang saya tahu ada TransCare. Mudah-mudahan di seluruh Indonesia juga ada, sehingga kami bisa lebih mandiri lagi,” harapnya.
“Lalu juga misalnya memberikan tarif khusus tunanetra, karena visualnya membatasi mobilitasnya di jalan, sehingga berbahaya. Itu yang kami rasakan saat ini,” imbuhnya.
Youth Co:Lab National Bootcamp 2023 Awardee
Youth Co:Lab National Bootcamp 2023 diperuntukkan bagi usaha sosial dengan orientasi pada nilai inklusivitas dan atau membantu penguatan Leave No One Behind (LNOB), serta berkontribusi pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
LNOB terdiri atas kelompok minoritas etnis atau agama; migran atau pengungsi; pemuda dengan pendapatan rendah atau dari keluarga yang berpendapatan di bawah UMR; pemuda yang tidak bekerja, bersekolah, atau tidak sedang menjalani pelatihan (NEET); pemuda dari masyarakat adat; pemuda dengan kebutuhan khusus; serta pemuda dari wilayah Tertinggal, Terluar, dan Terdepan (3T).
25 Wirausaha sosial yang lolos seleksi mengikuti onboarding, lokakarya, dan pendampingan selama satu bulan, dilanjutkan dengan Pitching Day. 10 Wirausaha terpilih, termasuk Sunar Sanggita, kemudian menjalani Final Pitch & Matchmaking Day di ujung program Youth Co:Lab National Bootcamp 2023.
Pada acara tersebut, tim Sunar Sanggita dan wirausaha sosial lainnya mempresentasikan inovasi dari usaha sosialnya, mulai dari permasalahan, model bisnis, rencana masa depan, hingga langkah mereka mengupayakan kewirausahaan sosial yang lebih inklusif dan berkelanjutan di Indonesia di hadapan juri dari Kemenpora, Ammana Fintek Syariah, Citi Indonesia, UNDP Indonesia, dan Silang.id.
Di samping itu, tim Sunar Sanggita dan deretan wirausahawan sosial muda lain juga berkesempatan untuk memamerkan produk inovasi usaha sosial masing-masing sambil menggali potensi berkolaborasi. Harapannya, ruang tersebut memperkuat ekosistem kewirausahaan sosial kaum muda di Indonesia.
Source: Detik.com